Sebagaimana dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an pun mengenal yang namanya ‘imbuhan’ yakni unsur tambahan yang ditambahkan pada kata dasar. Salah satu imbuhan dalam bahasa Arab ada imbuhan huruf huruf ‘ha’ {ه { yang ditambahkan di akhir kata.
|
ه |
+ |
كــتاب |
= |
كــتابه |
Imbuhan ‘ha’ {ه {ini disebut juga ‘sillah’ {الصلّة {karena sebetulnya dia adalah ‘kata ganti’ atau ‘dhamir’ yang menjadi penghubung antara kata dasarnya dengan kata sebelumnya yang mufrad, mudzakar, dan gaib. Imbuhan ‘ha’ {ه { ini dibacanya kadang ‘hu’ kadang ‘hi’ tergantung keadaan huruf-huruf sebelumnya.
|
Dibaca ‘hu’ |
كِــتَابُهُ |
كِــتَابَهُ |
Dibaca ‘hi’ |
كِــتَابِهِ |
Ha ini juga mati ketika di akhir bacaan. Ha ini tidak dibaca ha
karena yang dibaca ‘ha’ adalah jenis dhamir yang lain. Memang untuk
mengetahui imbuhan ‘ha’ ini kita harus sedikit lebih dalam belajar
gramatika bahasa Arab.
Namun, yang perlu diketahui bahwa pada dasarnya, mau dibaca ‘hu’
atau ‘hi’, imbuhan ha ini harus dibaca pendek atau satu harkat dengan catatan sillah itu tidak dalam posisi terhimpit
oleh dua huruf yang hidup (berharkat).
|
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَۛ فِيْهِۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ |
فَاَمَّا
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ
الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْۚ |
|
Huruf
sebelumnya mati |
Huruf
sesudahnya mati |
Apabila
imbuhan ha itu dalam posisi terhimpit, dalam arti huruf sebelumnya hidup
huruf setelahnya juga hidup, maka harkatnya harus ditambah menjadi 2 harkat dan
dibaca panjang.
|
فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِـهٖۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ |
فَلَمَّآ
اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَــــهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ |
Tambahan harkat yang semula 1 menjadi 2 harkat atau yang semula dibaca pendek menjadi panjang dalam ilmu tajwid disebut ‘mad’ {مد {. Dari sini, muncullah istilah ‘mad sillah’ {مد الصلّة .{ Dalam ilmu tajwid, tidak mungkin ada ‘mad’ jika tidak ada ‘huruf mad’ yakni alif, wawu mati, atau ya mati. Ini berarti setelah imbuhan ha yang dipanjangkan itu ada tambahan huruf mad bayangan. Kalau ha yang dibaca ‘hu’ berarti ditambah wawu mati kalau yang dibaca ‘hi’ berati ditambah ya mati.
|
فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِـهٖۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ |
فَلَمَّآ
اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَــــهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ |
|
فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِـهٖۖ (يْ) وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ |
فَلَمَّآ
اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَــــهٗ (وْ) ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ |
Selanjutnya, karena ada tambahan huruf mad bayangan ini, maka hukum mad berlaku, yakni jika setelah mad ada hamzah maka harkat-nya boleh ditambah lagi yang semula 2 harkat menjadi 4 atau 5 harkat sama dengan ‘mad jaiz munfashil’. Dari sini muncullah istilah ‘mad sillah thawilah’ {مد الصلّة الطويلة { atau ‘mad sillah kubra’ {مد الصلّة الكبرى{.
|
وَمَا يُضِلُّ بِـهٖٓ اِلَّا
الْفٰسِقِيْنَۙ |
فَلَــهٗٓ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۖ |
|
وَمَا يُضِلُّ بِـهٖٓ (يْ) اِلَّا الْفٰسِقِيْنَۙ |
فَلَــهٗٓ (وْ) اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۖ |
Mengapa imbuhan ha dhamir ini harus
dibaca panjang saat terhimpit dua huruf yang hidup? Jawabannya mungkin karena
alasan makna. Ketika tidak dibaca panjang mungkin si pendengar akan mengira
makna lain.
.jpg)
Komentar
Posting Komentar